Minggu, 31 Januari 2016

UMK Kota Medan 2016


Seluruh kabupaten/kota di Sumut diminta untuk menetapkan Upah Minum Kota/Kabupaten (UMK) tahun 2016 sesuai dengan aturan PP No. 78, tentang pengupahan. Artinya kenaikan UMK juga disesuaikan dengan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Kabupaten/kota bisa menghitung sendiri UMK tahun berjalan dikalikan 11,5 %, itulah UMK dari daerah masing-masing untuk tahun 2016.

Untuk Kota Medan Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 188.44/26/KPTS/Tahun2016 tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan 2016 maka UMK Medan tahun 2016 adalah sebesar  Rp 2.271.225,-


Sabtu, 01 Agustus 2015

PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA BAGI PELAKU USAHA YANG MENGGUNAKAN FORMALIN DAN BORAKS DITINJAU DARI KUH PERDATA DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Masyarakat luas terkejut ketika menyadari bahwa racun formalin ternyata sudah masuk ke dalam tubuh melalui banyak bahan makanan seperti publikasi hasil survey BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan).
Setidaknya, makanan jajanan paling merakyat seperti mie bakso ternyata mengandung bahan pengawet formalin yang sangat membahayakan kesehatan manusia. Formalin seperti banyak diplubikasikan ternyata merupakan bahan kariasinogenik (bahan pemicu kanker) dan sudah lama digunakan dalam proses pembuatan dan pengolahan makanan. Akibatnya instansi terkait Departemen Kesehatan (Depkes) dan BPOM merasa panas kuping dan saling tuding melempar tanggung jawab. Masyarakat terabaikan, apa sebenarnya formalin itu dan bagaimana formalin bisa digunakan dalam bahan makanan.
Formalin dan boraks merupakan bahan kimia berbahaya yang biasa digunakan untuk industri. Formalin biasanya digunakan untuk industri kayu lapis dan mengawetkan jenazah, sedangkan boraks biasa digunakan untuk industri las karbit ataupun patri.
Jika kedua bahan makanan ini masuk ke dalam saluran pencernaan, maka sejuta organ tubuh akan bekerja lebih keras lagi seperti: usus, lever, dan ginjal. Akibatnya, kerusakan organ tubuh tersebut akan terjadi lebih cepat dibandingkan orang yang tidak mengkonsumsi formalin dan boraks. Mengenai jenis makanan yang ditemukan mengandung bahan kimia berbahaya.
Secara transparan, sangat sulit membedakan produk makanan yang menggunakan pengawet jenis formalin dan boraks dengan produk makanan yang tidak menggunakan pengawet jenis formalin dan boraks. Makanan yang menggunakan formalin dan boraks akan mampu bertahan lebih dari satu hari, sedangkan makanan seperti mie basah yang tidak mengandung formalin hanya mampu bertahan paling lama satu hari. Begitu juga dengan produk-produk makanan lainnya yang menggunakan bahan pengawet formalin.
Penggunaan bahan pengawet pangan yang sangat berbahaya itu tentulah sangat dirugikan adalah konsumen, padahal konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan keamanan seperti diatur dalam Undang-undang   No. 8 Perlindungan Konsumen Tahun 1999.
Hukum perlindungan konsumen adalah merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaedah-kaedah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Hukum konsumen  diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur hubungan dan permasalahan antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan jasa konsumen di dalam pergaulan hidup (A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995,  hlm. 72)
Hak-hak konsumen seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999 di dalam Pasal 4 antara lain : Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa; Hak didengarkan pendapatnya; Hak untuk mendapatkan perlindungan konsumen; Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk mendapat kompensasi ganti rugi; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.
Di dalam hak konsumen mendapatkan keamanan maka konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani.
Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya untuk mengawetkan makanan sudah berlangsung sejak lama, namun masyarakat kurang memberi perhatian terhadap makanan apa saja yang mereka konsumsi. Selain itu kurang tegasnya sikap aparatur pemerintah dalam menangani permasalahan ini membuat kasus makanan berformalin dan boraks menjadi berkelanjutan sehingga membahayakan kesehatan masyarakat

Pertanggungjawaban Perdata Pelaku Usaha Yang Menggunakan Formalin Dan Boraks 
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan : Tiap perbuatan melanggar hukum yang membuat kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.
Dalam praktek sejak lahirnya Arrest Cohen lindenbaum pada tahun 1919 terdapat 4 (empat) kriteria perbuatan melawan hukum yaitu :
  1. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
  2. Melanggar hak subyektif orang lain
  3. Melanggar kaedah tata usaha
  4. Bertentangan dengan asas kepatuhan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Adanya suatu perbuatan melawan hukum tidak diisyaratkan adanya keempat kriteria tersebut secara kumulatif tetapi cukup terdapat suatu kriteria secara alternatif. (Darwan prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 20)

Ad. 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
Suatu perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum si pelaku perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang artinya bertentangan dengan suatu ketentuan umum yang bersifat mengikat yang diterbitkan oleh suatu kekuasaan yang berwenang. Ketentuan tersebut dapat merupakan suatu ketentuan yang berada dalam ruang lingkup hukum publik termasuk didalamnya peraturan hukum pidana maupun dalam ruang lingkup hukum perdata.
Suatu perbuatan tindak pidana tidak hanya bersifat melawan hukum (Werder wehteluk).Dalam hukum pidana tetapi dalam – keadaan tertentu dapat bersifat melawan hukum (onrechtgmaatiggedaad)) dalam pengertian hukum perdata. Apabila seseorang karena perbuatannya telah menimbulkan kerugian kepada orang lain. Dengan cara melanggar ketentuan undang-undang baik dalam arti formil dan maupun dalam arti materil, berarti telah melakukan perbuatan yang melakukan pertentangan dengan kewajiban hukumannya  sehingga demikian telah dapat dipersalahkan melakukan perbuatan melawan hukum. Jadi dengan demikian kriteria ini memandang masalah perbuatan melawan hukum dari si pelaku.
Ad 2. Melanggar Hak Subjektif Orang Lain.
Setiawan dengan berpedoman kepada pendapat Maijers menyebutkan bahwa hak subjektif orang lain itu adalah suatu kewenangan khusus seseorang yang diakui oleh hukum, kewenangan itu diberikannya untuk mempertahankan kepentingannya (J. Sastrio, Hukum dan Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Bagian Pertama, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 53)
Lebih lanjut Setiawan menyebutkan sebagai hak-hak yang diakui sebagai hak subjektif menurut yurisprudensi adalah :
  1. Hak-hak kebendaan serta hak-hak absolut lainnya, (eigendom, erfacht, hak oktrooi, dan lain-lain).
  2. Hak-hak pribadi (hak atas intregritas pribadi dan integritas badaniah, kehormatan serta nama bank, dan lain-lain)
  3. Hak-hak khusus seperti hak yang dimiliki seorang penyewa.
Apabila dilihat maka kriteria yang kedua ini berbeda dengan kriteria yang pertama dalam memandang perbuatan melawan hukum tersebut dari segi si korban.
Ad 3. Melanggar Kaedah Tata Susila
J. Sastrio menyebutkan “untuk kriteria melanggar kaedah tata susila norma yang dilanggar harus dicari dan harus di bentuk sendiri berdasarkan ketentuan umum mengenai moral dan pendapat”. Umum mengenai apa yang patut dan harus dilakukan orang dalam pergaulan hidup. Jadi Kaedah tata susila yang dimaksud adalah kaedah– kaedah moral sepanjang hal tersebut diterima dan berlaku dalam masyarakat sebagai suatu kaedah hukum yang tidak tertulis. Artinya untuk menyatakan suatu perbuatan melanggar kasusilaan adalah suatu perbuatan melawan hukum belum cukup hanya dengan mengemukakan adanya norma kesusilaan yang dilanggar tetapi juga harus dibuktikan bahwa norma kesusilaan tersebut telah diterima sebagai norma hukum.
Ad 4. Bertentangan Dengan Azas Kepatutan, Ketelitian dan Sikap Hati-Hati Yang Seharusnya Dimiliki.
            Seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Dalam mengejar dan menyelenggarakan kepentingannya seseorang dilarang untuk bersikap masa bodoh terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap orang lain artinya kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati haruslah dimiliki dan diperhatikan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kriteria ini adalah kriteria yang sangat fleksibel dan sulit untuk diberikan patokan umum.
Penerapannya harus dilihat dari kasus-perkasus secara inconcreto. Setiawan memberikan jalan keluar sebagai berikut:
”Dimana dalam menghadapi masalah harus yang harus diuji dengan kriteria ini sebaiknya di ambil langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Menentukan suatu kriteria umum
  2. Berdasarkan kriteria umum tadi hukum dapat menetapkan suatu kaedah tertulis, untuk suatu konkrit tertentu.
  3. Kaedah tidak tertulis tadi digunakan sebagai batu ujian bagi suatu situasi konkrit tertentu”. 
Menurut KUH Perdata tinjauan tentang ganti rugi meliputi persoalan yang menyangkut, apa yang di maksud dengan ganti rugi itu, bilamana ganti rugi itu timbul dan apa ukuran dari ganti rugi itu serta bagaimana peraturannya dalam undang-undang.
Pasal 1365 KUH Perdata memuat  unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum
  2. Harus ada kesalahan dari sipelaku
  3. Orang yang menggugat harus menderita kerugian
  4. Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian yang di timbulkan.

Pasal ini mengandung konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan dari sipelaku (Liability based on fault).
Selain itu KUH Perdata mengenal pula tanggung jawab bukan oleh si pelaku perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal ini seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawab atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dalam pengawasannya.
Pasal 1367 KUH Perdata ini adalah ketentuan yang mengatur tentang tanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum bukan karena kesalahannya tetapi lebih bersifat tanggung jawab karena resiko.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka tanggung jawab perdata pelaku usaha yang menggunakan formalin dan boraks sebagai pengawet makanan dapat dikenakan Pasal 1365 dan Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata.
Kembali pada uraian sebelumnya, dalam KUH Perdata memang sama sekali tidak pernah disebut kata “konsumen”. Istilah lainnya yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan siberutang (debitur), Pasal–Pasal yang dimaksud adalah:
  1. Pasal 1235 (No. Pasal-Pasal 1033, 1157, 1236, 1365, 1444, 1445, 1473, 1474, 1482, 1550, 1560, 1706, 1744) : bunyi Pasal 1235 KUH Perdata yaitu:
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban siberutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan – persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”.

  1. Pasal 1236 (No. Pasal-pasal 1235, 1243 , 1264, 1275, 1391, 1444 dan 1480): bunyi Pasal 1236 KUH Perdata yaitu :
“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya rugi dan bunga kepada si berpiutang, jika ia menderita dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaharaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.

  1. Pasal 1504 (No. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474 , 1491, 1504 sampai dengan 1511 ) : Si penjual di wajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.
Ketentuan dalam KUH Perdata diatas jelas masih terlalu umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat dinamis itu.
Adanya asas kebebasan berkontrak (partij autonomie) mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan keperdataan melakukan jenis-jenis perjanjian baru. Jenis-jenis perjanjian itu juga makin kompleks karena suatu bentuk perjanjian dapat mengandung berbagai unsur perjanjian sekaligus perjanjian demikian dikenal dengan istillah Contractus Sui Generis
Dalam Hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian merupakan faktor yang sangat penting, walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada. Dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, pernah ada sesuatu kurun waktu yang menganggap unsur perjanjian mutlak harus ada lebih. Barulah konsumen dapat memperoleh perlindungan yuridis dari lawan sengketanya.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi dua macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.  Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan bisa berupa melalui jalur pidana maupun penyelesaian secara perdata.  Sedangkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan bisa melalui arbitase dan jalur perdamaian.
Pasal 45 ayat (1):
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Sebenarnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan baru diketahui melalui Pasal 47, sedangkan Pasal 45 justru menyebut lembaga khusus sebagai penyelesaian di luar pengadilan.
Pasal 47:
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Dalam hukum acara perdata yang kini masih berlaku di Indonesia, dikenal asas hakim bersifat menunggu, pasif. Artinya, bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, seseorang yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (Pasal 1865 KUH Perdata). Pasal ini mengandung makna:
1. Seseorang dapat mengajukan suatu peristiwa, dalam hal ini wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, untuk menunjukkan haknya.
2.  Peristiwa yang diajukan itu harus dibuktikan.
Sebagaimana disebutkan Pasal 1865 KUH Perdata di atas,  peristiwa yang menjadi dasar hak itu harus dibuktikan oleh penggugat. Artinya kalau gugatan atas ganti kerugian didasarkan pada peristiwa wanprestasi konsumen sebagai penggugat perlu membuktikan:
  1. Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian)
  2. Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi oleh produsen
  3. timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat).
Jika gugatan kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan melawan hukum, haruslah dibuktikan:
  1. Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma kepatutan.
  2.  adanya kesalahan dari produsen, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.
  3.  adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat.
  4. adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum yang salah dan kerugian.

Pembuktian terhadap hal-hal di atas dilakukan menurut cara-cara yang diatur di dalam Undang-undang. Menurut Pasal 284 RBg/ 164 HIR atau Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti dapat diajukan adalah:
  1. surat
  2. saksi
  3. persangkaan
  4. pengakuan, dan
  5. sumpah
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang merasa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Suatu perkara sehingga memudahkan hakim untuk mengkonstatir peristiwanya, mengualifikasi, dan kemudian mengostituirnya.
Yang harus dibuktikan dalam perkara perdata adalah peristiwa yang diajukan sebagai dasar hak atau meneguhkan haknya, ataupun untuk menyangkal hak orang lain, jadi bukan hukumnya. Yang dimaksud di sini adalah hal-hal yang oleh pihak lawan tidak telah diakuinya dan bukan pula merupakan suatu hal yang tidak perlu dibuktikan, misalnya karena sudah merupakan kebenaran umum.
Pada dasarnya pihak yang mengajukan suatu peristiwa itulah yang dibebani pembuktian. Akan tetapi, untuk mencapai keadilan, dalam praktiknya pembagian beban pembuktian itu baru dirasakan adil dan tepat apabila yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan. Ini berarti untuk membebani kewajiban hakim harus bertindak arif dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah.
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab produk, pada gugatan yang diajukan konsumen yang berada dalam hubungan kontrak jual beli, ia harus membuktikan wanprestasi tergugat-produsen. Wanprestasi yang harus dibuktikan itu meliputi seluruh kewajiban yang tidak dilaksanakan oleh produsen sebagai tergugat, yaitu kewajiban-kewajiban yang tidak dilaksanakan menurut perjanjian jual beli termasuk kewajiban untuk menanggung cacat tersembunyi. Jadi, pedoman untuk membuktikan dipenuhi atau tidak dipenuhinya kewajiban produsen penjual adalah perjanjian yang sudah ada. Di sini, norma yang dilanggar adalah norma kontraktual. Pada gugatan yang didasarkan pada wanprestasi, konsumen penggugat tidak perlu membuktikan adanya kesalahan tergugat sehingga ia wanprestasi. Jadi, cukup dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa produsen tergugat telah tidak melaksanakan kewajiban dengan baik.
Pada gugatan penggantian kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum, konsumen penggugat harus membuktikan bahwa produsen tergugat telah bersalah melakukan sesuatu sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen penggugat. Pembuktian tentang adanya kesalahan itu mutlak dilakukan karena dasar pertanggungjawaban di sini adalah kesalahan. Dalam praktiknya hal itu terlalu sulit bagi seorang konsumen penggugat karena ia tidak mengetahui bagaimana seluk-beluk proses produksi. Sementara itu, produsen tergugat akan lebih mudah mengajukan pembuktian lawan karena ia benar-benar memahami proses produksi itu dengan baik dan ia mempunyai sarana, misalnya laboratorium untuk mengajukan pembuktian lawan.
Mengingat kerugian yang bagaimanakah yang dapat dituntut dari tergugat, dalam hal wanprestasi umumnya dianut ajaran (teori) adequate. Dengan suatu ganti kerugian harus menempatkan sejauh mungkin kreditur dalam kedudukan dimana ia seharusnya berada andaikata perjanjian itu dilaksanakan dengan baik. Inilah prinsip penggantian kerugian, yang juga berlaku dalam hal perbuatan melawan hukum. Jadi kerugian itu meliputi kerugian yang betul-betul diderita oleh penggugat sebagai akibat dari perbuatan wansprestasi atau melawan hukum itu.
Mengenai kerugian yang bagaimanakah yang dapat dituntut dari produsen, menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdiri dari:
  1. Kerugian atas kerusakan
  2. kerugian karena pencemaran, dan/atau
  3. kerugian konsumen sebagai akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Dimaksud dengan kerugian atas kerusakan adalah segala kerugian berupa timbulnya kerusakan pada barang-barang milik konsumen yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/ dibelinya. Misalnya, konsumen membeli sesuatu barang lalu disimpan bersama-sama dengan barang lain atau dipakai pada barang lain dan menimbulkan kerusakan pada barang lain.
Dimaksud dengan kerugian karena pencemaran adalah kerugian berupa pencemaran yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/ dibeli. Misalnya, produk yang baru dibeli itu mencemari produk lain yang dimiliki sebelumnya oleh konsumen sehingga barang-barang yang telah ada itu menjadi tidak berguna atau berkurang kegunaannya. Dua jenis kerugian di atas, kerugian atas kerusakan dan kerugian karena pencemaran, dapat digolongkan sebagai economy loss (kerugian ekonomis, kerugian harta benda).
Dimaksud dengan kerugian konsumen adalah kerugian berupa physical harm (korban manusia) sebagaimana dijelaskan di atas. Misalnya, karena mengkonsumsi produk tertentu, konsumen jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia.
Menurut Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan). Dalam berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi), tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimasilasi resiko yang harus ditanggung konsumen), misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian oleh suatu lembaga perizinan Pemerintah (hal ini disebut kontrol pra-pasar), atau menarik dari peredaran produk berbahaya yang sudah terlanjur beredar di pasaran (kontrol pasca pasar).
Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan konsumen dan dua macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsip-prinsip pengaturan di bidang perlindungan konsumen. UUPK menyebutkan lima prinsip pengaturan yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum.
Konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentu saja prinsip-prinsip tersebut bukan suatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat.
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Termasuk kelompok ini adalah (1) prinsip let the buyer bewere (caveat emptor), (2) the due care theory, (3) the privity of contract, dan (4) prinsip kontrak bukan merupakan syarat.
Doktrin let the buyer bewere atau caveat emptor sebagai embrio dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.
Doktrin yang mengatakan let the buyer bewere itu ditentang oleh pendukung gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Adalah kesalahan pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).
Doktrin (prinsip atau teori) ini menyatakan, pelaku usaha yang mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian.
Ditinjau dari pembagian beban pembuktian, tampak si penggugat (konsumen) harus membentangkan bukti-bukti. Si pelaku usaha (tergugat) cukup bersikap menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari si penggugat barulah membela diri, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian (negligence).
Hukum pembuktian di Indonesia pada umumnya menganut pembagian beban pembuktian kepada si penggugat. Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara tegas menyatakan, barang siapa yang mendalihkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Pasal 1865 ini berlaku dalam lapangan hukum perdata, baik terhadap konsumen yang menggugat secara wanprestasi maupun atas dasar perbuatan melawan hukum.
Realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna memperkuat gugatannya. Sebaliknya, si pelaku usaha dengan berbagai keunggulannya (secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis), relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian. Di sini letak kelemahan teori ini.
Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu harus dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontrak. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen boleh menggugat berdasarkan wanpretasi (contractual liability). Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (tortious liability).
Seandainya sudah terdapat hubungan hukum, persoalannya tidak begitu saja selesai. Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang biasanya selalu didikte menurut kemauan si pelaku usaha. Dalam kontrak demikian si pelaku usaha dapat dengan sepihak menghilangkan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipikulnya.
Perjanjian antara pelaku dan konsumen yang bersifat pasif, seperti perjanjian standar, jelas hanya hal-hal yang dianggap kesalahan prinsipil yang diperjanjikan. Kesalahan-kesalahan “kecil” menurut versi pelaku usaha, biasanya tidak disinggung secara khusus dalam perjanjian itu. Akibatnya, bila konsumen menuntut pelaku usaha atas kesalahan-kesalahan “kecil” seperti itu, pelaku usaha dapat berdalih, jenis kesalahan seperti itu tidak tercakup dalam perjanjian.
Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan scara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Sekalipun demikian, ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi di bidang jasa.
Prinsip-prinsip yang dibicarakan berikut ini berhubungan dengan penyederhanaan dalam proses beracara berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen. Namun, prinsip-prinsip dalam hukum acara yang dibahas prinsip yang ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan subjek hukum penggugat (konsumen), mengingat karakteristik sengketa konsumen umumnya berskala luas (melibatkan orang banyak). Jika dilihat secara individual, mungkin saja nilai perkaranya sangat kecil, tetapi secara komunal kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum perlindungan konsumen mengenal antara lain adanya: (1) small claim, (2) class action, dan (3) legal standing bagi lembaga perlindungan konsumen swadaya.
Small claim adalah jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Dalam hukum perlindungan konsumen di berbagai negara, proses beracara secara small claim menjadi prinsip yang diadopsi luas.
Ada tiga alasan fundamental mengapa small claim diizinkan dalam perkara konsumen, yaitu (1) kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya, (2) keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan (3) untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
Di luar negeri ada lembaga resmi Pemerintah yang khusus dibentuk untuk membantu konsumen (produsen pesaing) yang merasa dirugikan oleh suatu produsen tertentu yang beritikad tidak baik. Di Australia, misalnya, badan ini diberi nama Australian Comptetition and Consumer Commission (ACCC).
Dalam UUPK, juga dibentuk satu unit yang disebut Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang tidak memiliki kewenangan untuk menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk menampung gugatan-gugatan bernilai kecil ini justru diserahkan kepada kelompok konsumen atau lembaga swadaya masyarakat yang disebut lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM).
Saat ini ada beberapa Undang-undang yang memberi kemungkinan bagi masyarakat mengajukan gugatan dengan prosedur class action, yang oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 disebut dengan nama “gugatan perwakilan kelompok”. Selain dalam UUPK, class action juga diakomodasikan antara lain dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi, dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Gugatan perwakilan kelompok (biasanya cukup disingkat dengan sebutan “gugatan kelompok”) adalah pranata hukum yang berasal dari sistem Common Law, namun saat ini sudah diterima di hampir semua negara bertradisi Civil Law.
UUPK mengakomodasikan gugatan kelompok (class action) ini dalam Pasal 46 Ayat (1) Huruf (b). Ketentuan itu menyatakan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen  yang mempunyai kepentingan yang sama. Penjelasan dari rumusan itu menyatakan, gugatan kelompok tersebut harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adanya bukti transaksi.
Kaitan dengan ini dapat dipertanyakan, apakah suatu LSM tertentu dapat melakukan gugatan class action? Dengan mengacu kepada bunyi ketentuan itu disimpulkan, LSM dapat saja melakukan gugatan demikian sepanjang ia dapat mengidentifikasikan diri sebagai korban juga bersama dengan konsumen-konsumen lain yang diwakilinya. Jika dirinya tidak dapat diklasifikasikan sebagai korban, maka dasar penuntutannya bukan dengan Pasal 46 Ayat (1) Huruf (b), melainkan melalui Pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UUPK yang meletakkan dasar pranata hukum yang bebeda, yang dalam terminologi hukum dikenal sebagai NGO’s legal standing.
Prinsip class action berbeda dengan legal standing. Umumnya class action wajib memenuhi empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal Rule of Civil Procedure.
1.      Numerosity
Maksudnya, jumlah penggugat harus cukup banyak. Jika diajukan secara sendiri-sendiri tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien.
2.      Community
Artinya, adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan fakta (question of fact) antara pihak yang diwakilkan (class members) dan pihak yang mewakilinya (class representative).
3.      Typicality
Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara class members dan class representative.
4.      Adequacy of representation
Kelayakan class representative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim.
Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM (NGO’s standing). Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46 Ayat (1) Huruf (c):”Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiaan sesuai dengan anggaran dasarnya. ”
Defenisi yang diberikan oleh Pasal 1 Angka (9) UUPK, jelas ada keinginan agar setiap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam proses beracara di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM.
Kembali kepada persoalan legal standing ini. Selain dalam UUPK, NGO’s legal standing ternyata juga diterima dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang No.  41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Hanya saja, dalam undang-undang yang disebutkan terakhir ini, perumusannya sangat rancu antara gugatan kelompok (class action) dan legal standing untuk organisasi bidang kehutanan (undang-undang ini tidak menggunakan istilah “lembaga swadaya masyarakat”). Pasal 71 ayat (1) Undang-undang kehutanan menggunakan kata “gugatan kelompok” padahal yang dimaksud adalah gugatan berdasarkan prinsip legal standing. Rumusan yang agak tepat sebenarnya sudah diberikan dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan. Undang-undang ini menamakan NGO’s legal standing ini dengan sebutan “hak gugatan organisasi lingkungan”.
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
            Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.
            Di samping itu, dalam area hukum tertentu, misalnya antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat perbedaan yang cukup mendasar tentang prinsip-prinsip tanggung jawabnya yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dan kasus yang lain, prinsip-prinsipnya juga dapat saling berlainan. Uraian berikut ini menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut secara garis besar dilihat dari perspektif hukum perlindungan konsumen.
            Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: (1) kesalahan (liability based on fault), (2) praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability), (3) praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability), (4) tanggung jawab mutlak (strict liability), dan (5) pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Sama seperti penjelasan tentang kedudukan konsumen, dalam kaitan ini juga dibahas tentang masalah pembagian beban pembuktian.
            Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
            Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
            Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
1.      adanya perbuatan;
2.      adanya unsur kesalahan;
3.      adanya kerugian yang diderita;
4.      adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
            Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
            Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.
            Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal 163 Herziene Indonesische Reglement  (HIR) atau pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten (RGB) dan pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di situ dikatakan, barang siapa yang mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio).
            Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas oudi et eltern partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak berperkara, Disini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.
            Persoalan yang perlu di perjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya, adalah defenisi tentang subjek pelaku kesalahan (lihat pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ) Dalam doktrin hukum dikenal asas Vicarious Liability dan Corporate Liability.
Vicarious Liability  (atau di sebut juga respondent superior, let mester answer), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang / karyawan yang berada di bawah pengawasannya (captain of ship doctrine). Jika karyawan itu dipinjamkan kepihak lain (borrowed servant), maka tanggung jawabnya beralih pada sipemakai karyawan tadi (fellow-servant doctrine).
Corporate liability pada prinsipnya memilki pengertian yang sama Vicarious Liability. Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Sebagai contoh, dalam hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien, semua tanggung jawab atas pekerjaan medik dan paramedik dan dokter adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (digaji oleh rumah sakit), tetapi untuk karyawan nonorganik (misalnya dokter yang di kontrak kerja dengan pembagian hasil).
Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua balik dinding suatu koperasi itu sebagai satu kesatuan. Ia tidak membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan mana yang tidak. Doktrin yang terakhir ini disebut astensible agency. Maksudnya, suatu korporasi (misalnya rumah sakit ) memberi kesan kepada masyarakat (pasien) bahwa orang yang bekerja disitu (dokter, perawat dan lain-lain) adalah karyawan yang tunduk dibawah perintah / koordinasi korporasi tersebut, sehingga sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumennnya.
            Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada sitergugat.
            Hukum pengangkutan, khususnya pengangkutan udara, prinsip tanggung jawab ini pernah diakui sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 17, 18 ayat  (1), pasal 19 jo pasal 20 konvensi warsawa 1929 atau pasal 24,25,28 jo pasal 29 dalam perkembangannya dihapuskan dengan protokol Guatemala 1971.
            Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya,dikenal dengan empat versi.
  1. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya.
  2. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.
  3. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.
  4. Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/ kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.
Tampak Beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-undang tentang tindak pidana Korupsi, tepatnya pada Pasal 17 dan 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan RI sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19, 22, dan 23 (lihat ketentuan pasal 28 UUPK).
Dasar Pemikiran dari teori Pembalikan beban Pembuktian adalah seorang yang di anggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat  membuktikan sebaliknya, Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (Presumption if innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namum, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas  demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat, Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti, dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukan kesalahan si tergugat.
Prinsip itu adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh sipenumpang (konsumen) adalah tanggung jawab si penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggung jawabannya.
            Prinsip tanggung jawab mutlak (Stric liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas.
            Ada pendapat yang mengatakan, Strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada Strict Liability, hubungan itu tidak selalu ada.”Maksudnya, pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggung jawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).
            Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam pasal 43 ayat (1) Undang – undang Nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan.
            Menurut R.C Hoebertet al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan karena (1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu – waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati .
            Prinsip tanggung  jawab mutlak dalam hukum perlindungan kosumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang. Yang memasarkan  produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama Product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk di pasarkannya. Gugatan Product liability, dapat dilakukan berdasarkan tiga hal : (1) melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk, (2) ada unsur kelalaian (negligence), yaitu lalai memenuhi standart pembuatan obat yang baik, dan (3) menerapkan tanggung jawab mutlak (Strict liability).
            Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung  jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ini hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan sipelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip Strict liability.
            Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk di cantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicuci / cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka sikonsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.
            Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
Dua prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasi adalah tanggung jawab profesional. Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam prinsip-prinsip tentang tanggung jawab, tetapi dibahas terpisah karena perlu diberikan penguraian tersendiri.
            Tanggung jawab produk (product liability) sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen, yang dalam istilah bahasa Jerman disebut produzenten-haftung. Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata “produk” oleh Agnes M. Toar diartikan sebagai barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liability).
            Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya:
1.      pelanggaran jaminan (breach of warranty);
2.      kelalaian (negligence);
3.      tanggung jawab mutlak (strict liability).
            Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khusunya produsen), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain (design defects), dan/atau pelabelan (labeling defect).
            Adapun yang dimaksud dengan kelalaian (negligence) adalah bila si pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati (reasonable care) dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang. Sebagai contoh, kasus Biskuit Beracun (CV Gabisco) yang terjadi di Indonesia, 1989, juga bermula dan kelalaian (negligence) waktu penyimpanan bahan amonium bicarbonat di gudang, yang diletakkan berdekatan dengan racun anion nitrit.
            Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan tentang tanggung jawab produk ini sebenarnya dikenal, yaitu dalam Pasal 1504. Pasal ini berkaitan dengan Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 sampai dengan 1511.
            UUPK, mengisyaratkan adanya tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut (mulai Pasal 8) dikategorikan sebagai tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK. Pasal 19 Ayat (1) UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan: “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
            Secara umum ada perlindungan terhadap cacat tersembunyi, Pasal 19 Ayat (3) UUPK memberi batas waktu penggantian sampai tujuh hari setelah tanggal transaksi konsumen. Cacat tersembunyi yang ditemukan setelah masa garansi berakhir, juga tidak lagi menjadi tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 27 UUPK).
            Tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab profesional lebih berhubungan dengan jasa. Menurut Komar Kantaatmadja, tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.
            Sama seperti dalam tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab profesional dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.
            Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1601, dan seterusnya, dikenal ada perjanjian untuk melakukan pekerjaan, perjanjian pemberian jasa, dan perjanjian perburuhan. Dua perjanjian pertama menunjukkan kesetaraan antara para pihak yang terikat perjanjian, sementara dalam perjanjian perburuhan terkesan ada hubungan subordinatif karena di dalamnya terkait hubungan vertikal antara majikan dan buruh.
            Pelanggaran terhadap tanggung jawab profesional ini dapat berimplikasi sangat membahayakan jiwa konsumen, misalnya yang banyak terjadi akibat malpraktik dalam bidang kedokteran. Oleh karena itu, Pasal 19 Ayat (1) UUPK sekaligus juga memuat tanggung jawab pelaku usaha di bidang jasa.
Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:
  1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika dan
  2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Dengan demikian, terbagi tiga cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu:
  1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan.
  2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika, dan
  3. Penyelesaian sengketa konsumen, melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
            Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian BPSK dan sebaliknya.
            Seseorang yang dirugikan karena memakai atau mengkonsumsi produk yang cacat hanya mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau penuntutan penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang yang merasa berhak untuk mendapatkannya. Tidak akan ada penggantian kerugian selain karena dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen, dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi berlangsung. Misalnya, seseorang membeli barang yang terbungkus secara rapi. Setelah sampai di rumah, barang dibuka dan ternyata cacat/rusak. Konsumen pembeli dapat dengan langsung menuntut penjual untuk mengganti barang tersebut atau mengembalikan uang pembeliannya. Hal ini harus diselesaikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah terjadinya jual beli tersebut yang berarti juga, pembeli harus dengan segera mengajukan tuntutannya.
Cara yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat (1) itu tidak jelas. Akan tetapi dengan menyimak Pasal 19 ayat (3), pastilah yang dimaksud bukan melalui suatu badan acara pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (3), maka dapat diduga bahwa penyelesaian sengketa yang dimaksudkan di sini bukanlah penyelesaian yang rumit dan melalui pemeriksaan mendalam terlebih dahulu, melainkan bentuk penyelesaian sederhana dan praktis yang ditempuh dengan jalan damai (Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Sebagaimana penyelesaian perdamaian, maka tetap terbuka kemungkinan untuk menuntut pelaku usaha secara pidana.
Maka dengan mengikuti ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehubungan penyelesaian sengketa konsumen ini, cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat berupa konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Dengan ini berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih dahulu dengan pertemuan langsung antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui bantuan pihak ketiga. Dengan konsultasi atau negosiasi terjadi tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan terhadap penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen.
Dengan cara mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, ada pihak ketiga yang ikut membantu pihak yang bersengketa menemukan jalan penyelesaian di antara mereka. Pihak ketiga yang dimaksud di sini adalah pihak yang netral, tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Di sini pihak ketiga tidak memberi putusan sengketa, tetapi membantu para pihak menemukan penyelesaiannya.
Pada penyelesaian ini, kerugian yang dapat dituntut, sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran dan kerugian lain akibat dari  mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk penggantian kerugiannya dapat berupa:
1.      pengembalian uang seharga pembelian barang dan/atau jasa;
2.      penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya;
3.      perawatan kesehatan;
4.      pemberian santunan yang sesuai.
Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh konsumen, dan disesuaikan dengan hubungan hukum yang ada di antara mereka. Dalam contoh di atas, pembeli dapat menuntut supaya uangnya dikembalikan atau barang diganti dengan yang baru atau barang lain yang sejenis.
Namun demikian, tuntutan penggantian kerugian ini bukan atas kerugian yang timbul karena kesalahan konsumen sendiri. Dalam hal ini undang-undang memberi kesempatan kepada pelaku usaha utnuk membuktikan bahwa konsumen telah bersalah dalam hal timbulnya kerugian itu. Kalau produsen berhasil membuktikannya, ia bebas dari kewajiban membayar ganti kerugian. Misalnya, konsumen sakit karena salah memakai produk, yaitu tidak menaati aturan pakai yang tertera di dalam pembungkus (kemasan) produk itu.
Jika pelaku usaha tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut atau di antara mereka tidak ada penyelesaian, pembeli dapat mengajukan kasus tersebut ke BPSK atau ke pengadilan. Mengenai badan manakah yang memeriksa dan menyelesaikan sengketa, apakah BPSK atau pengadilan sepenuhnya bergantung pada pilihan sukarela dari pihak-pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (2)). Mengikuti ketentuan Pasal 23 Undang-undang Perlindungan Konsumen penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ini dapat ditempuh, yaitu jika penyelesaian secara damai di luar kota proses pengedilan tidak berhasil, baik karena produsen menolak atau tidak memberi tanggapan maupun jika tidak tercapai kesepakatan.
Jika penyelesaian dipilih melalui BPSK dan BPSK ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa masih dapat diserahkan ke pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui BPSK diawali dengan permohonan pengaduan korban, baik tertulis maupun tidak tertulis tentang peristiwa yang menimbulkan kerugian kepada konsumen. Yang dapat mengajukan gugatan atau permohonan penggantian kerugian melalui BPSK ini hanya memungkinkan menggugat sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seperti kelompok konsumen lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah, hanya dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan (umum), tidak ke BPSK.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak membuat ketentuan tentang bagaimana gugatan atau tuntutan diajukan. Mengikuti kebiasaan yang umum berlaku dalam perkara perdata di pengadilan, tuntutan diajukan dalam bentuk surat gugatan (tertulis) dengan sekurang-kurangnya menguraikan identitas, dasar tuntutan, dan isi tuntutan.
Atas permohonan itu, BPSK membentuk majelis yang berjumlah sekurang-kurangnya tiga orang, salah satu di antaranya menjadi ketua majelis. Dalam sidang pemeriksaan, majelis dibantu oleh seorang panitera.
Pemeriksaan atas permohonan/ tututan konsumen dilakukan sama seperti persidangan dalam pengadilan umum, yaitu ada pemeriksaan terhadap saksi, saksi ahli, dan bukti-bukti lain. Setelah melakukan pemeriksaan, majelis kemudian memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian pada konsumen, yang harus diganti oleh produsen.
Putusan majelis BPSK kemudian diteruskan ke pengadilan negeri supaya dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika pihak-pihak yang bersengkata tidak puas dengan putusan majelis, mereka dapat mengajukan keberatannya ke pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lambat empat belas hari kerja sejak putusan diterima (Pasal 56 ayat (2)).
Dalam hal tuntutan diajukan pengadilan, dipersoalkan proses atau tahapan-tahapan pemeriksaan tuntutan ganti rugi sehubungan dengan pertanggungjawabn produsen/ pelaku usaha.
Menurut Pasal 48 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herziene Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan Madura. Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).