Masyarakat
luas terkejut ketika menyadari bahwa racun formalin ternyata sudah masuk ke
dalam tubuh melalui banyak bahan makanan seperti publikasi hasil survey BPOM
(Badan Pengawasan Obat dan Makanan).
Setidaknya, makanan jajanan paling merakyat seperti mie
bakso ternyata mengandung bahan pengawet formalin yang sangat membahayakan
kesehatan manusia. Formalin seperti banyak diplubikasikan ternyata merupakan
bahan kariasinogenik (bahan pemicu kanker) dan sudah lama digunakan dalam
proses pembuatan dan pengolahan makanan. Akibatnya instansi terkait Departemen
Kesehatan (Depkes) dan BPOM merasa panas kuping dan saling tuding melempar
tanggung jawab. Masyarakat terabaikan, apa sebenarnya formalin itu dan
bagaimana formalin bisa digunakan dalam bahan makanan.
Formalin dan boraks merupakan bahan kimia berbahaya yang
biasa digunakan untuk industri. Formalin biasanya digunakan untuk industri kayu
lapis dan mengawetkan jenazah, sedangkan boraks biasa digunakan untuk industri
las karbit ataupun patri.
Jika
kedua bahan makanan ini masuk ke dalam saluran pencernaan, maka sejuta organ
tubuh akan bekerja lebih keras lagi seperti: usus, lever, dan ginjal.
Akibatnya, kerusakan organ tubuh tersebut akan terjadi lebih cepat dibandingkan orang yang tidak mengkonsumsi formalin dan boraks. Mengenai
jenis makanan yang ditemukan mengandung bahan kimia berbahaya.
Secara transparan, sangat sulit membedakan produk makanan
yang menggunakan pengawet jenis formalin dan boraks dengan produk makanan yang
tidak menggunakan pengawet jenis formalin dan boraks. Makanan yang menggunakan
formalin dan boraks akan mampu bertahan lebih dari satu hari, sedangkan makanan
seperti mie basah yang tidak mengandung formalin hanya mampu bertahan paling
lama satu hari. Begitu juga dengan produk-produk makanan lainnya yang
menggunakan bahan pengawet formalin.
Penggunaan bahan pengawet pangan yang sangat berbahaya itu
tentulah sangat dirugikan adalah konsumen, padahal konsumen mempunyai hak untuk
mendapatkan keamanan seperti diatur dalam Undang-undang No. 8 Perlindungan Konsumen Tahun 1999.
Hukum perlindungan konsumen adalah merupakan bagian dari
hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaedah-kaedah bersifat mengatur dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaedah-kaedah yang mengatur hubungan dan permasalahan antara berbagai pihak
satu sama lain berkaitan dengan barang dan jasa konsumen di dalam pergaulan
hidup (A.Z.
Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 72)
Hak-hak konsumen seperti yang diatur di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Tahun 1999 di dalam Pasal 4 antara lain : Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/ atau
jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa; Hak didengarkan pendapatnya; Hak untuk mendapatkan perlindungan
konsumen; Hak untuk mendapatkan pembinaan
dan pendidikan konsumen; Hak untuk mendapat kompensasi
ganti rugi; Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundangan lainnya.
Di dalam hak konsumen mendapatkan keamanan maka konsumen
berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya.
Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga
konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani.
Penyalahgunaan bahan kimia
berbahaya untuk mengawetkan makanan sudah berlangsung sejak lama, namun
masyarakat kurang memberi perhatian terhadap makanan apa saja yang mereka
konsumsi. Selain itu kurang tegasnya sikap aparatur pemerintah dalam menangani
permasalahan ini membuat kasus makanan berformalin dan boraks menjadi
berkelanjutan sehingga membahayakan kesehatan masyarakat
Pertanggungjawaban Perdata
Pelaku Usaha Yang Menggunakan Formalin Dan Boraks
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan : Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membuat kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.
Dalam
praktek sejak lahirnya Arrest Cohen lindenbaum pada tahun 1919 terdapat
4 (empat) kriteria perbuatan melawan hukum yaitu :
- Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
- Melanggar hak subyektif orang lain
- Melanggar kaedah tata usaha
- Bertentangan dengan asas kepatuhan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Adanya suatu perbuatan melawan
hukum tidak diisyaratkan adanya keempat kriteria tersebut secara kumulatif
tetapi cukup terdapat suatu kriteria secara alternatif. (Darwan
prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hlm. 20)
Ad. 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
Suatu
perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum si pelaku perbuatan tersebut
bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang artinya bertentangan dengan
suatu ketentuan umum yang bersifat mengikat yang diterbitkan oleh suatu
kekuasaan yang berwenang. Ketentuan tersebut dapat merupakan suatu ketentuan
yang berada dalam ruang lingkup hukum publik termasuk didalamnya peraturan
hukum pidana maupun dalam ruang lingkup hukum perdata.
Suatu perbuatan tindak pidana tidak
hanya bersifat melawan hukum (Werder wehteluk).Dalam hukum pidana tetapi dalam
– keadaan tertentu dapat bersifat melawan hukum (onrechtgmaatiggedaad)) dalam
pengertian hukum perdata. Apabila seseorang karena perbuatannya telah
menimbulkan kerugian kepada orang lain. Dengan cara melanggar ketentuan
undang-undang baik dalam arti formil dan maupun dalam arti materil, berarti
telah melakukan perbuatan yang melakukan pertentangan dengan kewajiban
hukumannya sehingga demikian telah dapat
dipersalahkan melakukan perbuatan melawan hukum. Jadi dengan demikian kriteria
ini memandang masalah perbuatan melawan hukum dari si pelaku.
Ad 2. Melanggar Hak Subjektif Orang Lain.
Setiawan dengan berpedoman
kepada pendapat Maijers menyebutkan bahwa hak subjektif orang lain itu adalah
suatu kewenangan khusus seseorang yang diakui oleh hukum, kewenangan itu
diberikannya untuk mempertahankan kepentingannya (J.
Sastrio, Hukum dan Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang,
Bagian Pertama, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 53)
Lebih lanjut Setiawan menyebutkan sebagai hak-hak yang
diakui sebagai hak subjektif menurut yurisprudensi adalah :
- Hak-hak kebendaan serta hak-hak absolut lainnya, (eigendom, erfacht, hak oktrooi, dan lain-lain).
- Hak-hak pribadi (hak atas intregritas pribadi dan integritas badaniah, kehormatan serta nama bank, dan lain-lain)
- Hak-hak khusus seperti hak yang dimiliki seorang penyewa.
Apabila
dilihat maka kriteria yang kedua ini berbeda dengan kriteria yang pertama dalam
memandang perbuatan melawan hukum tersebut dari segi si korban.
Ad 3. Melanggar Kaedah Tata Susila
J. Sastrio menyebutkan “untuk
kriteria melanggar kaedah tata susila norma yang dilanggar harus dicari dan
harus di bentuk sendiri berdasarkan ketentuan umum mengenai moral dan
pendapat”. Umum mengenai apa yang patut dan
harus dilakukan orang dalam pergaulan hidup. Jadi Kaedah tata susila yang
dimaksud adalah kaedah– kaedah moral sepanjang hal tersebut diterima dan
berlaku dalam masyarakat sebagai suatu kaedah hukum yang tidak tertulis.
Artinya untuk menyatakan suatu perbuatan melanggar kasusilaan adalah suatu
perbuatan melawan hukum belum cukup hanya dengan mengemukakan adanya norma
kesusilaan yang dilanggar tetapi juga harus dibuktikan bahwa norma kesusilaan
tersebut telah diterima sebagai norma hukum.
Ad 4. Bertentangan Dengan Azas
Kepatutan, Ketelitian dan Sikap Hati-Hati Yang Seharusnya Dimiliki.
Seseorang dalam pergaulan dengan
sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Dalam mengejar
dan menyelenggarakan kepentingannya seseorang dilarang untuk bersikap masa
bodoh terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap orang lain artinya
kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati haruslah dimiliki dan diperhatikan
dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kriteria ini adalah kriteria yang sangat
fleksibel dan sulit untuk diberikan patokan umum.
Penerapannya harus
dilihat dari kasus-perkasus secara inconcreto. Setiawan memberikan jalan
keluar sebagai berikut:
”Dimana dalam menghadapi masalah harus
yang harus diuji dengan kriteria ini sebaiknya di ambil langkah-langkah sebagai
berikut :
- Menentukan suatu kriteria umum
- Berdasarkan kriteria umum tadi hukum dapat menetapkan suatu kaedah tertulis, untuk suatu konkrit tertentu.
- Kaedah tidak tertulis tadi digunakan sebagai batu ujian bagi suatu situasi konkrit tertentu”.
Menurut KUH Perdata tinjauan tentang ganti rugi meliputi
persoalan yang menyangkut, apa yang di maksud dengan ganti rugi itu, bilamana
ganti rugi itu timbul dan apa ukuran dari ganti rugi itu serta bagaimana
peraturannya dalam undang-undang.
Pasal
1365 KUH Perdata memuat unsur-unsur
sebagai berikut :
- Perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum
- Harus ada kesalahan dari sipelaku
- Orang yang menggugat harus menderita kerugian
- Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian yang di timbulkan.
Pasal ini mengandung konsep tanggung jawab berdasarkan
kesalahan dari sipelaku (Liability based on fault).
Selain itu KUH Perdata mengenal pula tanggung jawab bukan
oleh si pelaku perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1367
ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal ini seseorang tidak hanya
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri
tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggung jawab atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dalam
pengawasannya.
Pasal 1367 KUH Perdata ini adalah ketentuan yang mengatur
tentang tanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum
bukan karena kesalahannya tetapi lebih bersifat tanggung jawab karena resiko.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka tanggung jawab
perdata pelaku usaha yang menggunakan formalin dan boraks sebagai pengawet
makanan dapat dikenakan Pasal 1365 dan Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata.
Kembali
pada uraian sebelumnya, dalam KUH Perdata memang sama sekali tidak pernah
disebut kata “konsumen”. Istilah lainnya yang sepadan dengan itu adalah seperti
pembeli, penyewa, dan siberutang (debitur), Pasal–Pasal yang dimaksud adalah:
- Pasal 1235 (No. Pasal-Pasal 1033, 1157, 1236, 1365, 1444, 1445, 1473, 1474, 1482, 1550, 1560, 1706, 1744) : bunyi Pasal 1235 KUH Perdata yaitu:
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah
termasuk kewajiban siberutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan
untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat
penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap
persetujuan – persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan
ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”.
- Pasal 1236 (No. Pasal-pasal 1235, 1243 , 1264, 1275, 1391, 1444 dan 1480): bunyi Pasal 1236 KUH Perdata yaitu :
“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya rugi
dan bunga kepada si berpiutang, jika ia menderita dirinya dalam keadaan tidak
mampu untuk menyerahkan kebendaharaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna
menyelamatkannya”.
- Pasal 1504 (No. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474 , 1491, 1504 sampai dengan 1511 ) : Si penjual di wajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.
Adanya asas kebebasan
berkontrak (partij autonomie) mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam
hubungan keperdataan melakukan jenis-jenis perjanjian baru. Jenis-jenis
perjanjian itu juga makin kompleks karena suatu bentuk perjanjian dapat
mengandung berbagai unsur perjanjian sekaligus perjanjian demikian dikenal
dengan istillah Contractus Sui Generis
Dalam Hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian
merupakan faktor yang sangat penting, walaupun bukan faktor mutlak yang harus
ada. Dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, pernah ada sesuatu
kurun waktu yang menganggap unsur perjanjian mutlak harus ada lebih. Barulah
konsumen dapat memperoleh perlindungan yuridis dari lawan sengketanya.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi dua macam ruang
untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan bisa berupa melalui jalur pidana maupun penyelesaian secara
perdata. Sedangkan penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan bisa melalui arbitase dan jalur perdamaian.
Pasal
45 ayat (1):
Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Sebenarnya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan baru diketahui melalui Pasal 47,
sedangkan Pasal 45 justru menyebut lembaga khusus sebagai penyelesaian di luar
pengadilan.
Pasal
47:
Penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen.
Dalam hukum acara perdata yang kini masih berlaku di
Indonesia, dikenal asas hakim bersifat menunggu, pasif. Artinya, bahwa
inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena
itu, seseorang yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada
suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (Pasal
1865 KUH Perdata). Pasal ini mengandung makna:
1. Seseorang dapat mengajukan suatu
peristiwa, dalam hal ini wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, untuk
menunjukkan haknya.
2. Peristiwa yang diajukan itu harus
dibuktikan.
Sebagaimana disebutkan Pasal 1865 KUH Perdata di atas, peristiwa yang menjadi dasar hak itu harus
dibuktikan oleh penggugat. Artinya kalau gugatan atas ganti kerugian didasarkan
pada peristiwa wanprestasi konsumen sebagai penggugat perlu membuktikan:
- Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian)
- Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi oleh produsen
- timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat).
Jika
gugatan kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan melawan hukum, haruslah
dibuktikan:
- Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma kepatutan.
- adanya kesalahan dari produsen, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.
- adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat.
- adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum yang salah dan kerugian.
Pembuktian terhadap hal-hal di atas dilakukan menurut
cara-cara yang diatur di dalam Undang-undang. Menurut Pasal 284 RBg/ 164 HIR
atau Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti dapat diajukan adalah:
- surat
- saksi
- persangkaan
- pengakuan, dan
- sumpah
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang merasa perkara yang bersangkutan guna
memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Suatu perkara
sehingga memudahkan hakim untuk mengkonstatir peristiwanya, mengualifikasi, dan
kemudian mengostituirnya.
Yang harus dibuktikan dalam perkara perdata adalah
peristiwa yang diajukan sebagai dasar hak atau meneguhkan haknya, ataupun untuk
menyangkal hak orang lain, jadi bukan hukumnya. Yang dimaksud di sini adalah
hal-hal yang oleh pihak lawan tidak telah diakuinya dan bukan pula merupakan
suatu hal yang tidak perlu dibuktikan, misalnya karena sudah merupakan
kebenaran umum.
Pada dasarnya pihak yang mengajukan suatu peristiwa itulah
yang dibebani pembuktian. Akan tetapi, untuk mencapai keadilan, dalam
praktiknya pembagian beban pembuktian itu baru dirasakan adil dan tepat apabila
yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika
disuruh membuktikan. Ini berarti untuk membebani kewajiban hakim harus
bertindak arif dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah.
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab produk, pada
gugatan yang diajukan konsumen yang berada dalam hubungan kontrak jual beli, ia
harus membuktikan wanprestasi tergugat-produsen. Wanprestasi yang harus
dibuktikan itu meliputi seluruh kewajiban yang tidak dilaksanakan oleh produsen
sebagai tergugat, yaitu kewajiban-kewajiban yang tidak dilaksanakan menurut
perjanjian jual beli termasuk kewajiban untuk menanggung cacat tersembunyi.
Jadi, pedoman untuk membuktikan dipenuhi atau tidak dipenuhinya kewajiban
produsen penjual adalah perjanjian yang sudah ada. Di sini, norma yang
dilanggar adalah norma kontraktual. Pada gugatan yang didasarkan pada
wanprestasi, konsumen penggugat tidak perlu membuktikan adanya kesalahan
tergugat sehingga ia wanprestasi. Jadi, cukup dengan menunjukkan bukti-bukti
bahwa produsen tergugat telah tidak melaksanakan kewajiban dengan baik.
Pada gugatan penggantian kerugian berdasarkan perbuatan
melawan hukum, konsumen penggugat harus membuktikan bahwa produsen tergugat
telah bersalah melakukan sesuatu sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen
penggugat. Pembuktian tentang adanya kesalahan itu mutlak dilakukan karena
dasar pertanggungjawaban di sini adalah kesalahan. Dalam praktiknya hal itu
terlalu sulit bagi seorang konsumen penggugat karena ia tidak mengetahui
bagaimana seluk-beluk proses produksi. Sementara itu, produsen tergugat akan
lebih mudah mengajukan pembuktian lawan karena ia benar-benar memahami proses
produksi itu dengan baik dan ia mempunyai sarana, misalnya laboratorium untuk
mengajukan pembuktian lawan.
Mengingat kerugian yang bagaimanakah yang dapat dituntut
dari tergugat, dalam hal wanprestasi umumnya dianut ajaran (teori) adequate.
Dengan suatu ganti kerugian harus menempatkan sejauh mungkin kreditur dalam
kedudukan dimana ia seharusnya berada andaikata perjanjian itu dilaksanakan
dengan baik. Inilah prinsip penggantian kerugian, yang juga berlaku dalam hal
perbuatan melawan hukum. Jadi kerugian itu meliputi kerugian yang betul-betul
diderita oleh penggugat sebagai akibat dari perbuatan wansprestasi atau melawan
hukum itu.
Mengenai kerugian yang bagaimanakah yang dapat dituntut dari
produsen, menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdiri dari:
- Kerugian atas kerusakan
- kerugian karena pencemaran, dan/atau
- kerugian konsumen sebagai akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Dimaksud dengan kerugian atas kerusakan adalah segala
kerugian berupa timbulnya kerusakan pada barang-barang milik konsumen yang
ditimbulkan oleh produk yang dipakai/ dibelinya. Misalnya, konsumen membeli
sesuatu barang lalu disimpan bersama-sama dengan barang lain atau dipakai pada
barang lain dan menimbulkan kerusakan pada barang lain.
Dimaksud dengan kerugian karena pencemaran adalah kerugian
berupa pencemaran yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/ dibeli. Misalnya,
produk yang baru dibeli itu mencemari produk lain yang dimiliki sebelumnya oleh
konsumen sehingga barang-barang yang telah ada itu menjadi tidak berguna atau
berkurang kegunaannya. Dua jenis kerugian di atas, kerugian atas kerusakan dan
kerugian karena pencemaran, dapat digolongkan sebagai economy loss
(kerugian ekonomis, kerugian harta benda).
Dimaksud dengan kerugian
konsumen adalah kerugian berupa physical harm (korban manusia) sebagaimana
dijelaskan di atas. Misalnya, karena mengkonsumsi produk tertentu, konsumen
jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia.
Menurut Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen
secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang
bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan
informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan
kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan
ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan). Dalam berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan
kebijakan komplementer (memberikan informasi), tetapi juga harus
ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimasilasi resiko yang
harus ditanggung konsumen), misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk
tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian oleh suatu lembaga perizinan
Pemerintah (hal ini disebut kontrol pra-pasar), atau menarik dari peredaran
produk berbahaya yang sudah terlanjur beredar di pasaran (kontrol pasca pasar).
Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur
perihal perlindungan konsumen dan dua macam kebijakan umum yang dapat ditempuh,
juga terdapat prinsip-prinsip pengaturan di bidang perlindungan konsumen. UUPK
menyebutkan lima prinsip pengaturan yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan
nasional, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan,
serta kepastian hukum.
Konteks hukum perlindungan konsumen terdapat
prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentu saja prinsip-prinsip
tersebut bukan suatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga
diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih
berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan
tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat.
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen
dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang
dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Termasuk kelompok
ini adalah (1) prinsip let the buyer bewere (caveat emptor), (2) the
due care theory, (3) the privity of contract, dan (4) prinsip kontrak
bukan merupakan syarat.
Doktrin let the buyer bewere atau caveat emptor
sebagai embrio dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini
berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang
sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.
Doktrin yang mengatakan let the buyer bewere itu
ditentang oleh pendukung gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Menurut
prinsip ini, dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib
berhati-hati adalah pembeli. Adalah kesalahan pembeli (konsumen) jika ia sampai
membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya UUPK,
kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju caveat
venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).
Doktrin (prinsip atau teori) ini menyatakan, pelaku usaha
yang mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik
barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat
dipersalahkan. Jika ditafsirkan seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha
itu melanggar prinsip kehati-hatian.
Ditinjau dari pembagian beban pembuktian, tampak si
penggugat (konsumen) harus membentangkan bukti-bukti. Si pelaku usaha
(tergugat) cukup bersikap menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari si penggugat
barulah membela diri, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang
menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian (negligence).
Hukum pembuktian di Indonesia pada umumnya menganut
pembagian beban pembuktian kepada si penggugat. Pasal 1865 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata secara tegas menyatakan, barang siapa yang mendalihkan mempunyai
suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau
menunjuk pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut. Pasal 1865 ini berlaku dalam lapangan hukum perdata, baik
terhadap konsumen yang menggugat secara wanprestasi maupun atas dasar perbuatan
melawan hukum.
Realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan
bukti-bukti guna memperkuat gugatannya. Sebaliknya, si pelaku usaha dengan
berbagai keunggulannya (secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis),
relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian. Di sini letak
kelemahan teori ini.
Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu harus dapat dilakukan jika diantara
mereka telah terjalin suatu hubungan kontrak. Pelaku usaha tidak dapat
disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen boleh
menggugat berdasarkan wanpretasi (contractual liability). Di tengah minimnya
peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan
dasar perbuatan melawan hukum (tortious liability).
Seandainya sudah terdapat hubungan hukum, persoalannya
tidak begitu saja selesai. Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara
pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah
pihak yang biasanya selalu didikte menurut kemauan si pelaku usaha. Dalam
kontrak demikian si pelaku usaha dapat dengan sepihak menghilangkan
kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipikulnya.
Perjanjian antara pelaku dan konsumen yang bersifat pasif,
seperti perjanjian standar, jelas hanya hal-hal yang dianggap kesalahan
prinsipil yang diperjanjikan. Kesalahan-kesalahan “kecil” menurut versi pelaku
usaha, biasanya tidak disinggung secara khusus dalam perjanjian itu. Akibatnya,
bila konsumen menuntut pelaku usaha atas kesalahan-kesalahan “kecil” seperti
itu, pelaku usaha dapat berdalih, jenis kesalahan seperti itu tidak tercakup
dalam perjanjian.
Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen,
prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan scara
mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi, kontrak
bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Sekalipun demikian, ada pandangan yang menyatakan prinsip
kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang.
Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi di bidang jasa.
Prinsip-prinsip yang dibicarakan berikut ini berhubungan
dengan penyederhanaan dalam proses beracara berkaitan dengan penyelesaian
sengketa konsumen. Namun, prinsip-prinsip dalam hukum acara yang dibahas
prinsip yang ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan subjek hukum penggugat
(konsumen), mengingat karakteristik sengketa konsumen umumnya berskala luas
(melibatkan orang banyak). Jika dilihat secara individual, mungkin saja nilai
perkaranya sangat kecil, tetapi secara komunal kerugian yang ditimbulkan sangat
besar. Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum
perlindungan konsumen mengenal antara lain adanya: (1) small claim, (2) class
action, dan (3) legal standing bagi lembaga perlindungan konsumen swadaya.
Small claim adalah jenis
gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis,
nilai gugatannya sangat kecil. Dalam hukum perlindungan konsumen di berbagai
negara, proses beracara secara small claim menjadi prinsip yang diadopsi
luas.
Ada tiga alasan fundamental mengapa small claim
diizinkan dalam perkara konsumen, yaitu (1) kepentingan dari pihak penggugat
(konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya, (2)
keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para
konsumen kecil dan miskin, dan (3) untuk menjaga integritas badan-badan
peradilan.
Di luar negeri ada lembaga resmi Pemerintah yang khusus
dibentuk untuk membantu konsumen (produsen pesaing) yang merasa dirugikan oleh
suatu produsen tertentu yang beritikad tidak baik. Di Australia, misalnya,
badan ini diberi nama Australian Comptetition and Consumer Commission
(ACCC).
Dalam UUPK, juga dibentuk satu unit yang disebut Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, yang tidak memiliki kewenangan untuk menggugat
mewakili konsumen. Perwakilan untuk menampung gugatan-gugatan bernilai kecil
ini justru diserahkan kepada kelompok konsumen atau lembaga swadaya masyarakat
yang disebut lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM).
Saat ini ada beberapa Undang-undang yang memberi
kemungkinan bagi masyarakat mengajukan gugatan dengan prosedur class action,
yang oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 disebut dengan nama
“gugatan perwakilan kelompok”. Selain dalam UUPK, class action juga
diakomodasikan antara lain dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi, dan UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Gugatan perwakilan kelompok (biasanya cukup disingkat
dengan sebutan “gugatan kelompok”) adalah pranata hukum yang berasal dari
sistem Common Law, namun saat ini sudah diterima di hampir semua negara
bertradisi Civil Law.
UUPK mengakomodasikan gugatan kelompok (class action)
ini dalam Pasal 46 Ayat (1) Huruf (b). Ketentuan itu menyatakan, gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
Penjelasan dari rumusan itu menyatakan, gugatan kelompok tersebut harus diajukan
oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum,
salah satu diantaranya adanya bukti transaksi.
Kaitan dengan ini dapat dipertanyakan, apakah suatu LSM
tertentu dapat melakukan gugatan class action? Dengan mengacu kepada bunyi
ketentuan itu disimpulkan, LSM dapat saja melakukan gugatan demikian sepanjang
ia dapat mengidentifikasikan diri sebagai korban juga bersama dengan
konsumen-konsumen lain yang diwakilinya. Jika dirinya tidak dapat
diklasifikasikan sebagai korban, maka dasar penuntutannya bukan dengan Pasal 46
Ayat (1) Huruf (b), melainkan melalui Pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UUPK yang
meletakkan dasar pranata hukum yang bebeda, yang dalam terminologi hukum
dikenal sebagai NGO’s legal standing.
Prinsip class action berbeda
dengan legal standing. Umumnya class action wajib memenuhi empat
syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal Rule of Civil
Procedure.
1.
Numerosity
Maksudnya, jumlah penggugat harus cukup
banyak. Jika diajukan secara sendiri-sendiri tidak lagi mencerminkan proses
beracara yang efisien.
2.
Community
Artinya, adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan
fakta (question of fact) antara pihak yang diwakilkan (class members) dan pihak
yang mewakilinya (class representative).
3.
Typicality
Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar pembelaan
yang digunakan antara class members dan class representative.
4.
Adequacy of representation
Kelayakan class representative dalam mewakili
kepentingan class members. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada
penilaian hakim.
Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima
kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal
standing. Hak yang dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM
(NGO’s standing). Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal
46 Ayat (1) Huruf (c):”Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiaan sesuai dengan
anggaran dasarnya. ”
Defenisi yang diberikan oleh Pasal 1 Angka (9) UUPK, jelas
ada keinginan agar setiap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
(LPKSM) itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran
dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam
proses beracara di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal
standing LPKSM.
Kembali kepada persoalan legal standing ini. Selain
dalam UUPK, NGO’s legal standing ternyata juga diterima dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang
No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
Hanya saja, dalam undang-undang yang disebutkan terakhir ini, perumusannya
sangat rancu antara gugatan kelompok (class action) dan legal standing
untuk organisasi bidang kehutanan (undang-undang ini tidak menggunakan istilah
“lembaga swadaya masyarakat”). Pasal 71 ayat (1) Undang-undang kehutanan
menggunakan kata “gugatan kelompok” padahal yang dimaksud adalah gugatan
berdasarkan prinsip legal standing. Rumusan yang agak tepat sebenarnya
sudah diberikan dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan. Undang-undang ini
menamakan NGO’s legal standing ini dengan sebutan “hak gugatan
organisasi lingkungan”.
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang
sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran
hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada
pihak-pihak terkait.
Beberapa sumber formal hukum,
seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum
keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang
dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.
Di samping itu, dalam area hukum
tertentu, misalnya antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat
perbedaan yang cukup mendasar tentang prinsip-prinsip tanggung jawabnya yang
diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu
dan kasus yang lain, prinsip-prinsipnya juga dapat saling berlainan. Uraian
berikut ini menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut secara garis besar dilihat
dari perspektif hukum perlindungan konsumen.
Secara umum, prinsip-prinsip
tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: (1) kesalahan
(liability based on fault), (2) praduga selalu bertanggung jawab (presumption
of liability), (3) praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of
nonliability), (4) tanggung jawab mutlak (strict liability), dan (5) pembatasan
tanggung jawab (limitation of liability). Sama seperti penjelasan tentang
kedudukan konsumen, dalam kaitan ini juga dibahas tentang masalah pembagian
beban pembuktian.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan
unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip
yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini
dipegang secara teguh.
Prinsip ini menyatakan, seseorang
baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur
kesalahan yang dilakukannya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan
terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
1.
adanya perbuatan;
2.
adanya unsur kesalahan;
3.
adanya kerugian yang diderita;
4.
adanya hubungan kausalitas antara
kesalahan dan kerugian.
Kesalahan adalah unsur
yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan
dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Secara common sense,
asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang
berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain,
tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang
diderita orang lain.
Mengenai pembagian beban
pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal 163 Herziene Indonesische
Reglement (HIR) atau pasal 283 Rechtsreglement
Buitengewesten (RGB) dan pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di
situ dikatakan, barang siapa yang mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya
hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio).
Ketentuan diatas juga sejalan dengan
teori umum dalam hukum acara, yakni asas oudi et eltern partem atau asas
kedudukan yang sama antara semua pihak berperkara, Disini hakim harus memberi
para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki
kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.
Persoalan yang perlu di perjelas
dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip
lainnya, adalah defenisi tentang subjek pelaku kesalahan (lihat pasal 1367
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ) Dalam doktrin hukum dikenal asas Vicarious
Liability dan Corporate Liability.
Vicarious Liability (atau di sebut juga respondent superior,
let mester answer), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas
kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang / karyawan yang berada di
bawah pengawasannya (captain of ship doctrine). Jika karyawan itu
dipinjamkan kepihak lain (borrowed servant), maka tanggung jawabnya
beralih pada sipemakai karyawan tadi (fellow-servant doctrine).
Corporate liability pada
prinsipnya memilki pengertian yang sama Vicarious Liability. Menurut
doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai
tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Sebagai contoh,
dalam hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien, semua tanggung jawab atas
pekerjaan medik dan paramedik dan dokter adalah menjadi beban tanggung jawab
rumah sakit tempat mereka bekerja. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk
karyawan organiknya (digaji oleh rumah sakit), tetapi untuk karyawan nonorganik
(misalnya dokter yang di kontrak kerja dengan pembagian hasil).
Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya
melihat semua balik dinding suatu koperasi itu sebagai satu kesatuan. Ia tidak
membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan mana yang
tidak. Doktrin yang terakhir ini disebut astensible agency. Maksudnya,
suatu korporasi (misalnya rumah sakit ) memberi kesan kepada masyarakat
(pasien) bahwa orang yang bekerja disitu (dokter, perawat dan lain-lain) adalah
karyawan yang tunduk dibawah perintah / koordinasi korporasi tersebut, sehingga
sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious
terhadap konsumennnya.
Prinsip ini menyatakan, tergugat
selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle),
sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada
sitergugat.
Hukum pengangkutan, khususnya
pengangkutan udara, prinsip tanggung jawab ini pernah diakui sebagaimana dapat
dilihat dalam pasal 17, 18 ayat (1),
pasal 19 jo pasal 20 konvensi warsawa 1929 atau pasal 24,25,28 jo pasal 29
dalam perkembangannya dihapuskan dengan protokol Guatemala 1971.
Berkaitan dengan prinsip tanggung
jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya,dikenal dengan empat
versi.
- Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya.
- Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.
- Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.
- Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/ kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.
Tampak Beban pembuktian terbalik (omkering van
bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di
Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam
Undang-undang tentang tindak pidana Korupsi, tepatnya pada Pasal 17 dan 18.
Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan RI sampai saat ini masih keberatan
untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik.
UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan
dalam pasal 19, 22, dan 23 (lihat ketentuan pasal 28 UUPK).
Dasar Pemikiran dari teori Pembalikan beban Pembuktian
adalah seorang yang di anggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, Hal ini tentu
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (Presumption if
innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namum, jika diterapkan dalam
kasus konsumen akan tampak, asas
demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini maka yang berkewajiban
untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat, Tergugat
ini yang harus menghadirkan bukti-bukti, dirinya tidak bersalah. Tentu saja
konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi
konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku
usaha, jika ia gagal menunjukan kesalahan si tergugat.
Prinsip itu adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip
praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability
principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat
dibenarkan.
Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum
pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang
biasanya dibawa dan diawasi oleh sipenumpang (konsumen) adalah tanggung jawab
si penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta
pertanggung jawabannya.
Prinsip tanggung jawab mutlak (Stric liability) sering
diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability).
Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas.
Ada pendapat yang mengatakan, Strict liability adalah prinsip tanggung
jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun,
ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung
jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya, absolute liability
adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya
pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung
jawab dan kesalahannya. Pada Strict Liability, hubungan itu tidak selalu
ada.”Maksudnya, pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada,
dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggung jawaban itu bukan si pelaku
langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).
Protokol Guatemala 1971, prinsip
tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan pasal 17 ayat
(1) Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif
Indonesia, yakni dalam pasal 43 ayat (1) Undang – undang Nomor 15 tahun 1992
tentang penerbangan.
Menurut R.C Hoebertet al., biasanya
prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan karena (1) konsumen tidak dalam posisi
menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi
dan distribusi kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi
jika sewaktu – waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi
atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat
memaksa produsen lebih berhati-hati .
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan kosumen
secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang.
Yang memasarkan produknya yang merugikan
konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama Product liability.
Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen atas penggunaan produk di pasarkannya. Gugatan Product liability,
dapat dilakukan berdasarkan tiga hal : (1) melanggar jaminan (breach of
warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang
tertera dalam kemasan produk, (2) ada unsur kelalaian (negligence), yaitu lalai
memenuhi standart pembuatan obat yang baik, dan (3) menerapkan tanggung jawab
mutlak (Strict liability).
Variasi yang sedikit berbeda dalam
penerapan tanggung jawab mutlak terletak
pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti
rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu.
Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak
sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ini hanya perlu membuktikan adanya hubungan
kausalitas antara perbuatan sipelaku usaha (produsen) dan kerugian yang
dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip Strict liability.
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk di cantumkan sebagai
klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian
cuci cetak film, misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicuci / cetak itu
hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka sikonsumen hanya
dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.
Prinsip tanggung jawab ini sangat
merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK
yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang jelas.
Dua prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasi adalah
tanggung jawab profesional. Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam
prinsip-prinsip tentang tanggung jawab, tetapi dibahas terpisah karena perlu
diberikan penguraian tersendiri.
Tanggung jawab produk (product
liability) sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen, yang dalam
istilah bahasa Jerman disebut produzenten-haftung. Agnes M. Toar
mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk
produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan
kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata “produk” oleh
Agnes M. Toar diartikan sebagai barang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian)
atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum),
namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir
(tortious liability).
Dasar gugatan untuk tanggung jawab
produk dapat dilakukan atas landasan adanya:
1.
pelanggaran jaminan (breach of
warranty);
2.
kelalaian (negligence);
3.
tanggung jawab mutlak (strict
liability).
Pelanggaran jaminan
berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khusunya produsen), bahwa barang yang
dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi
dalam konstruksi barang (construction defect), desain (design defects),
dan/atau pelabelan (labeling defect).
Adapun yang dimaksud
dengan kelalaian (negligence) adalah bila si pelaku usaha yang digugat itu
gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati (reasonable care) dalam membuat,
menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu
barang. Sebagai contoh, kasus Biskuit Beracun (CV Gabisco) yang terjadi di
Indonesia, 1989, juga bermula dan kelalaian (negligence) waktu penyimpanan
bahan amonium bicarbonat di gudang, yang diletakkan berdekatan dengan
racun anion nitrit.
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, ketentuan tentang tanggung jawab produk ini sebenarnya dikenal,
yaitu dalam Pasal 1504. Pasal ini berkaitan dengan Pasal-pasal 1322, 1473,
1474, 1491, 1504 sampai dengan 1511.
UUPK, mengisyaratkan
adanya tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal
11. Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut (mulai Pasal 8) dikategorikan
sebagai tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK. Pasal 19 Ayat (1) UUPK
secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.”
Secara umum ada
perlindungan terhadap cacat tersembunyi, Pasal 19 Ayat (3) UUPK memberi batas
waktu penggantian sampai tujuh hari setelah tanggal transaksi konsumen. Cacat
tersembunyi yang ditemukan setelah masa garansi berakhir, juga tidak lagi
menjadi tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 27 UUPK).
Tanggung jawab produk
berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab profesional lebih
berhubungan dengan jasa. Menurut Komar Kantaatmadja, tanggung jawab profesional
adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa
profesional yang diberikan kepada klien.
Sama seperti dalam
tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab profesional dapat
timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian
yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa
tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1601, dan seterusnya, dikenal ada
perjanjian untuk melakukan pekerjaan, perjanjian pemberian jasa, dan perjanjian
perburuhan. Dua perjanjian pertama menunjukkan kesetaraan antara para pihak
yang terikat perjanjian, sementara dalam perjanjian perburuhan terkesan ada
hubungan subordinatif karena di dalamnya terkait hubungan vertikal antara
majikan dan buruh.
Pelanggaran terhadap
tanggung jawab profesional ini dapat berimplikasi sangat membahayakan jiwa
konsumen, misalnya yang banyak terjadi akibat malpraktik dalam bidang
kedokteran. Oleh karena itu, Pasal 19 Ayat (1) UUPK sekaligus juga memuat
tanggung jawab pelaku usaha di bidang jasa.
Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:
- Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika dan
- Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Dengan demikian, terbagi tiga cara untuk menyelesaikan sengketa
konsumen, yaitu:
- Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan.
- Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika, dan
- Penyelesaian sengketa konsumen, melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Satu dari ketiga cara itu dapat
ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan ketentuan bahwa penyelesaian
sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh
kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh
setelah penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara
melalui pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian BPSK dan sebaliknya.
Seseorang yang dirugikan karena
memakai atau mengkonsumsi produk yang cacat hanya mendapat penggantian kerugian
apabila mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau
penuntutan penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang yang merasa
berhak untuk mendapatkannya. Tidak akan ada penggantian kerugian selain karena
dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ini, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara
langsung penggantian kerugian kepada produsen, dan produsen harus memberi
tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah
transaksi berlangsung. Misalnya, seseorang membeli barang yang terbungkus
secara rapi. Setelah sampai di rumah, barang dibuka dan ternyata cacat/rusak.
Konsumen pembeli dapat dengan langsung menuntut penjual untuk mengganti barang
tersebut atau mengembalikan uang pembeliannya. Hal ini harus diselesaikan dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah terjadinya jual beli tersebut yang berarti
juga, pembeli harus dengan segera mengajukan tuntutannya.
Cara yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat (1) itu tidak jelas.
Akan tetapi dengan menyimak Pasal 19 ayat (3), pastilah yang dimaksud bukan
melalui suatu badan acara pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu
tujuh hari setelah tanggal transaksi sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat
(3), maka dapat diduga bahwa penyelesaian sengketa yang dimaksudkan di sini
bukanlah penyelesaian yang rumit dan melalui pemeriksaan mendalam terlebih
dahulu, melainkan bentuk penyelesaian sederhana dan praktis yang ditempuh
dengan jalan damai (Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Sebagaimana
penyelesaian perdamaian, maka tetap terbuka kemungkinan untuk menuntut pelaku
usaha secara pidana.
Maka dengan mengikuti ketentuan UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehubungan penyelesaian
sengketa konsumen ini, cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat
berupa konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Dengan ini berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan
terlebih dahulu dengan pertemuan langsung antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui bantuan pihak ketiga. Dengan konsultasi atau negosiasi terjadi
tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan terhadap penyelesaian sengketa
konsumen yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen.
Dengan cara mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, ada
pihak ketiga yang ikut membantu pihak yang bersengketa menemukan jalan
penyelesaian di antara mereka. Pihak ketiga yang dimaksud di sini adalah pihak
yang netral, tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Di sini
pihak ketiga tidak memberi putusan sengketa, tetapi membantu para pihak
menemukan penyelesaiannya.
Pada penyelesaian ini, kerugian yang dapat dituntut, sesuai
dengan Pasal 19 ayat (1) terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran dan
kerugian lain akibat dari mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Bentuk penggantian kerugiannya dapat berupa:
1.
pengembalian uang seharga
pembelian barang dan/atau jasa;
2.
penggantian barang dan/atau jasa
sejenis atau setara nilainya;
3.
perawatan kesehatan;
4.
pemberian santunan yang sesuai.
Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada
kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh konsumen, dan disesuaikan dengan
hubungan hukum yang ada di antara mereka. Dalam contoh di atas, pembeli dapat
menuntut supaya uangnya dikembalikan atau barang diganti dengan yang baru atau
barang lain yang sejenis.
Namun demikian, tuntutan penggantian kerugian ini bukan
atas kerugian yang timbul karena kesalahan konsumen sendiri. Dalam hal ini
undang-undang memberi kesempatan kepada pelaku usaha utnuk membuktikan bahwa
konsumen telah bersalah dalam hal timbulnya kerugian itu. Kalau produsen
berhasil membuktikannya, ia bebas dari kewajiban membayar ganti kerugian.
Misalnya, konsumen sakit karena salah memakai produk, yaitu tidak menaati
aturan pakai yang tertera di dalam pembungkus (kemasan) produk itu.
Jika pelaku usaha tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti
rugi tersebut atau di antara mereka tidak ada penyelesaian, pembeli dapat
mengajukan kasus tersebut ke BPSK atau ke pengadilan. Mengenai badan manakah
yang memeriksa dan menyelesaikan sengketa, apakah BPSK atau pengadilan
sepenuhnya bergantung pada pilihan sukarela dari pihak-pihak yang bersengketa
(Pasal 45 ayat (2)). Mengikuti ketentuan Pasal 23 Undang-undang Perlindungan
Konsumen penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ini dapat ditempuh, yaitu
jika penyelesaian secara damai di luar kota proses pengedilan tidak berhasil,
baik karena produsen menolak atau tidak memberi tanggapan maupun jika tidak
tercapai kesepakatan.
Jika penyelesaian dipilih melalui BPSK dan BPSK ini tidak
berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa masih dapat diserahkan ke
pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui BPSK diawali dengan
permohonan pengaduan korban, baik tertulis maupun tidak tertulis tentang
peristiwa yang menimbulkan kerugian kepada konsumen. Yang dapat mengajukan
gugatan atau permohonan penggantian kerugian melalui BPSK ini hanya
memungkinkan menggugat sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 46 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, seperti kelompok konsumen lembaga swadaya masyarakat,
dan pemerintah, hanya dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan (umum), tidak
ke BPSK.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak membuat ketentuan
tentang bagaimana gugatan atau tuntutan diajukan. Mengikuti kebiasaan yang umum
berlaku dalam perkara perdata di pengadilan, tuntutan diajukan dalam bentuk
surat gugatan (tertulis) dengan sekurang-kurangnya menguraikan identitas, dasar
tuntutan, dan isi tuntutan.
Atas permohonan itu, BPSK membentuk majelis yang berjumlah
sekurang-kurangnya tiga orang, salah satu di antaranya menjadi ketua majelis.
Dalam sidang pemeriksaan, majelis dibantu oleh seorang panitera.
Pemeriksaan atas permohonan/ tututan konsumen dilakukan
sama seperti persidangan dalam pengadilan umum, yaitu ada pemeriksaan terhadap
saksi, saksi ahli, dan bukti-bukti lain. Setelah melakukan pemeriksaan, majelis
kemudian memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian pada
konsumen, yang harus diganti oleh produsen.
Putusan majelis BPSK kemudian diteruskan ke pengadilan
negeri supaya dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika pihak-pihak yang
bersengkata tidak puas dengan putusan majelis, mereka dapat mengajukan
keberatannya ke pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lambat empat
belas hari kerja sejak putusan diterima (Pasal 56 ayat (2)).
Dalam hal tuntutan diajukan pengadilan, dipersoalkan proses
atau tahapan-tahapan pemeriksaan tuntutan ganti rugi sehubungan dengan
pertanggungjawabn produsen/ pelaku usaha.
Menurut Pasal 48 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam
tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herziene
Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, atau Rechtsreglemen
Buitengewesten (RBg) yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan Madura.
Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar